Syahida.com – Kaidah pertama dalam membangun ekonomi Islam adalah menghargai nilai harta benda dan kedudukannya dalam kehidupan. Sebelum datangnya Islam, banyak orang menganggap harta adalah keburukan, sedang kemiskinan sebagai kebaikan. Bahkan, segala sesuatu yang berkaitan dengan kenikmatan materi dianggap sebagai kotoran ruhani dan penghambat bagi peningkatan kemuliaan jiwa manusia.
Demikian itu sebagaimana dikenal dalam falsafah Brahma di India dan Manawi di Paris, sebagaimana juga dikenal dalam agama Kristen. Kecenderungan ini semakin jelas dalam sistem kerahiban (kependetaan).
Para pemilik Injil (Matius, Marcus dan Lukas) menceritakan dari Al Masih, bahwa ada seorang kaya yang ingin mengikuti Al Masih dan ingin masuk ke agamanya, maka Al Masih berkata kepadanya, “Juallah harta milikmu kemudian berikanlah dari hasil penjualan itu kepada kaum fakir, setelah itu kemarilah mengikutiku.”
Ketika dirasa berat bagi pemuda itu maka Al Masih pun berkata, “Sulit bagi orang kaya untuk memasuki kerajaan langit! Saya katakan juga kepadamu, sesungguhnya masuknya unta ke lubang jarum itu lebih mudah dari masuknya orang kaya ke kerajaan Allah.”
Kebalikan dari pandangan-pandangan tersebut, berbagai paham baru, seperti paham materialistis dan sosialis menjadikan perekonomian itu sebagai tujuan hidup dan menjadikan harta sebagai Tuhan bagi individu dan masyarakat.
Berbeda dengan dua pandangan di atas, Islam tidak memandang harta kekayaan seperti pandangan mereka yang pesimis dan antipati, bukan pula memandang seperti pandangan kaum materialist yang berlebihan, tetapi Islam memandang harta itu sebagai berikut.
Pertama, harta sebagai pilar penegak kehidupan. Allah SWT berfirman.
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok (penegak) kehidupan. (QS. An-Nisa’: 5).
Kedua, Di dalam beberapa ayat Al Quran harta disebut dengan kata, khairan yang berarti suatu kebaikan.
“Dan sesungguhnya manusia itu sangat bakhil karena cintanya kepada kebaikan (harta).” (Al Adiyat: 8).
“Katakanlah, “Apa saja kebaikan (harta) yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak dan kaum kerabatmua..” (Al Baqarah: 215).
“Diwajibkan atas kamu apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.” (Al Baqarah: 180).
Ketiga, Kekayaan merupakan nikmat Allah yang diberikan kepada para Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman serta bertakwa dari hamba-hamba-Nya. Allah SWT berfirman:
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (Adh-Dhuha : 8).
“Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki.” (At Taubah: 28).
“Jikalau sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” (Al A’raf: 96).
“(Allah) memberikan bantuan kepadamu dengan harta anak laki-laki… “ (Nuh: 12).
Keempat, Kemiskinan adalah ujian dan musibah orang yang berpaling dan kufur terhadap nikmat Allah. Firman-Nya:
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. An Nahl: 112).
Kelima, Nabi SAW menentukan pandangannya terhadap harta dengan sabdanya yang ringkas:
“Sebaik-baik harta adalah harta yang berada di tangan hamba yang sholeh.” (HR.Ahmad).
Harta itu tidak baik secara mutlak dan tidak pula jelek secara mutlak, tetapi ia merupakan alat dan senjata yang baik bila di tangan orang baik dan menjadi buruk bila di tangan orang jahat. Demikian itu karena harta merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan dan membantu melaksanakan kewajiban, seperti zakat, haji dan jihad serta persiapan utama untuk memakmurkan bumi.
Islam menginginkan agar harta itu tidak menjadi berhala yang disembah sebagai tandingan selain Allah. Dan hendaknya jangan menyebabkan pemiliknya lalai terhadap Rabb-nya dan menindas sesama makhluk. Sebab, ini semua merupakan fitnah harta yang diperingatkan oleh Islam. Allah SWT berfirman,
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.” (Al Anfal: 28).
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. “ (Al Munafiqun: 9)
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al Kahfi: 46)
“Ketahuilah sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Al Alaq: 6-7).
Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa sesungguhnya penyelewengan itu tidak muncul disebabkan sekedar oleh kekayaan, akan tetapi disebabkan karena anggapan manusia itu sendiri bahwa seakan harta itu segala-galanya, di mana ia tidak lagi memerlukan yang lainnya apabila sudah punya harta, bahkan merasa tidak perlu lagi menyembah Allah. [Syahida.com /ANW]
===
(Sumber: Kitab Malamih Al-Mujtama’ Al-Muslim, karya DR. yusuf Qardhawi, penerjemah: Abdus Salam Masykur, Nurhadi. Penerbit:Era Adicitra Intermedia)