Cerita Sa’ad bin Abi Waqqash
Cerita islami, kisah sahabat nabi yang bernama Sa’ad bin Abi Waqqash, beliau merupakan salah satu sahabat nabi yang berbakti kepada orang tua dan juga memiliki iman yang kuat kepada Alloh SWT, selain itu beliau juga memiliki kemampuan memanah yang hebat. Simak cerita Sa’ad bin Abi Waqqash lengkap di bawah ini :
Cerita Sa’ad bin Abi Waqqash pemanah hebat
Sa’ad berasal dari keluarga bangsawan yang kaya raya. Dia sangat disayangi oleh kedua orang tuanya, terutama ibunya. Dia dikenal sebagai pemuda yang serius dan memiliki pemikiran yang cerdas. Sosoknya tidak terlalu tinggi, namun bertubuh tegap dengan potongan rambut pendek. Orang-orang Mekah selalu membandingkannya dengan singa muda.
Sa’ad lahir dan besar di kota Mekah. Meski begitu, dia sangat benci kepada agama dan cara hidup yang dianut masyarakat Mekah. Dia membenci praktik penyembahan berhala yang sudah membudaya di Mekah saat itu. Pada suatu hari yang sangat bersejarah dalam hidupnya, dia didatangi oleh Abu Bakar yang dikenal sebagai orang yang ramah. Abu Bakar mengundang Sa’ad ke sebuah perbukitan dekat Mekah. Maka berangkatlah Sa’ad bersama Abu Bakar untuk sebuah keperluan yang Sa’ad sendiri sebenarnya tidak tahu pasti. Yang mendorong Sa’ad melangkahkan kakinya menuju tempat itu, selain karena jiwa mudanya yang menyukai petualangan, adalah sosok Abu Bakar sendiri. Siapa tidak kenal Abu Bakar, seorang laki-laki kaya yang terkenal jujur, ramah, dan dermawan.
cerita Sa'ad bin Abi Waqqash
Ternyata, selain mengundang Sa’ad, Abu Bakar juga mengundang sahabat-sahabatnya yang lain seperti Usman bin Affan, Abdurrahman bin Aul Talhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Yang lebih mengejutkan Sa’ad, ternyata Abu Bakar mengumpulkan mereka semua untuk mengumumkan bahwa dirinya telah menganut sebuah ajaran baru yang dibawa oleh Muhammad al-Amin. “Para sahabatku,” Abu Bakar memulai pidatonya, “saya ingin mengumumkan kepada kalian semua bahwa saya telah mengikuti ajakan Muhammad dan meyakini kebenarannya. Saya yakin, apa yang dikatakan Muhammad adalah benar. Dia tidak pernah bohong selama ini, dan kalian tentu tahu sendiri hal itu. Nah, sekarang saya ingin mengajak kalian semua untuk bersama-sama mengikuti agama yang dibawa Muhammad ini.”
Saad dan sahabat-sahabat yang lain terdiam. Mereka merenungkan kebenaran ucapan Abu Bakar tentang Muhammad. Ya, siapa pun pasti sepakat bahwa Muhammad adalah orang yang jujur dan terpercaya. Gelar al-Amin membuktikan hal itu. Maka, demi mendengar ajakan Abu Bakar itu mereka menyatakan keislamannya. Usman, Abdurrahman, Sa’ad, dan Zubair bersama-sama mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai pertanda bahwa mereka mengakui Allah swt. sebagai satu-satunya Tuhan yang patut disembah, serta mengakui bahwa Muhammad saw. adalah seorang nabi yang diutus untuk menyampaikan risalah-Nya.
Cerita Sa’ad bin Abi Waqqash – Dengan penuh keyakinan, keempat sahabat itu memeluk lslam dan merasakan hangatnya sinar iman. Tak terkecuali Sa’ad. Dengan mantap, dia segera menerima ajakan Abu Bakar untuk memeluk agama lslam. Sa’ad menjadi salah satu sahabat yang pertama-tama masuk lslam, bahkan pada usia yang masih sangat muda. Dengan mantap, dia meninggalkan agama nenek moyangnya yang selama ini dirasakannya tidak masuk akal. Padahal, saat itu usianya belum genap tujuh belas tahun.
Setelah pertemuan itu, Abu Bakar mengajak mereka menemui Nabi Muhammad untuk mendengarkan ajaran agama lslam. Pertemuan dengan Nabi saw. itu menjadi pertemuan yanS sangat mengesankan bagi Sa’ad yang berkarakter serius dan pemikir. lbarat pepatah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Selama ini Sa’ad sangat tidak menyukai cara beribadah kaumnya, tetapi dia tidak mendapati agama lain yang lebih masuk akal baginya. Begitu mendengar ajaran baru yang dibawa Nabi Muhammad, Sa’ad segera sadar bahwa dia telah menemukan apa yang selama ini dia cari.
Saad sendiri secara tidak langsung memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi Muhammad saw. Kakeknya adalah Uhaib, putra Manaf yang menjadi paman dari Aminah, ibunda Nabi saw. Artinya, menurut silsilah keluarga, Sa’ad adalah paman Nabi dari pihak ibu. Nabi saw.sering membanggakan pamannya yang jauh lebih muda ini. Apabila Sa’ad datang pada saat beliau sedang berada di antara para sahabat yang lain, beliau menyambut Sa’ad dengan ucapan selamat seraya berucap, “lnilah dia pamanku. Siapa yang punya paman seperti pamanku ini?” Lalu, apakah hubungan kekerabatan antara diri dan keluarganya dengan Muhammad membuat jalan yang dilalui Sa’ad menjadi mulus? Ternyata tidak. Keislaman Sa’ad mendapat tentangan keras dari keluarga dan anggota sukunya. Tentangan yang paling besar justru berasal dari ibunya sendiri. lbu Sa’ad sangat marah saat mengetahui anaknya masuk lslam. Segala cara dilakukannya untuk membuat Sa’ad kembali ke agama nenek moyang mereka, yaitu menyembah patung berhala. “Kembalilah kepada agama nenek moyangmu, atau kau akan kehilangan ibumu ini!” ancam ibu Sa’ad.
Saat itu Sa’ad belum mengerti benar maksud perkataan ibunya. Yang dia mengerti hanyalah bahwa dia tidak mungkin melepaskan ajaran lslam yang baru dipeluknya. Dia bahkan bertekad akan mempertahankannya, meski nyawa taruhannya. Baginya, iman yang telah tertancap di dalam dadanya itu merupakan harta paling berharga yang tidak dapat ditukar dengan apa pun. Sementara itu ibu Sa’ad mulai menjalankan rencananya. Dia yakin rencananya akan berhasil, karena dia tahu benar bahwa Sa’ad sangat mencintainya. Apa sebenarnya yang direncanakan oleh ibunda Sa’ad?
Selama beberapa hari, ibu Sa’ad menolak makan sehingga badannya mulai melemah. Meski dibujuk dan dibawakan makanan, dia tetap menolak. Dia hanya bersedia makan jika Sa’ad kembali ke agama lamanya. Sa’ad mulai mengerti maksud ancaman ibunya tempo hari. Ternyata ibunya memberinya dua pilihan yang sangat sulit: pertama murtad, kedua kehilangan ibu yang sangat dicintainya.
Sebagai seorang anak yang baik, tentu saja Sa’ad ingin selalu berbakti kepada ibunya. Bagi Sa’ad, kalau harus dicari siapa orang yang paling berjasa dalam hidupnya, maka orang itu tidak lain adalah ibunya. Betapa tidak, ibunyalah yang telah mengandungnya selama sembilan bulan dalam keadaan yang susah payah. Setelah itu, dia melahirkannya dengan susah payah pula, bahkan dengan mempertaruhkan nyawanya. Setelah dia lahir pun, ibunya masih harus menyusui, membesarkan, memelihara, dan mendidiknya dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Tidak pernah terbayang di benak Sa’ad bahwa dirinya harus melukai perasaan ibunya, apalagi mendurhakainya. Situasi menjadi sangat sulit bagi Sa’ad ketika cintanya yang demikian dalam dan tulus kepada ibunya itu mesti dipertentangkan dengan hidayah berupa iman yang baru saja dikecapnya. Sa’ad sadar bahwa memilih satu di antara dua pilihan yang disuguhkan oleh ibunya sama-sama mengandung risiko. Jika dia memilih mengikuti kehendak ibunya, berarti dia harus melepaskan sesuatu yang sangat berharga yang selama ini dia cari-cari, yaitu iman. Jika iman yang sudah tertancap di dalam dadanya dilepaskan, Sa’ad yakin hidupnya di dunia dan terlebih di akhirat kelak tidak akan pernah bahagia. Sebaliknya, jika dia mempertahankan imannya’ berarti dia telah mengecewakan ibunya; suatu hal yang tidak pernah diinginkannya.
Akan tetapi, Sa’ad juga sadar bahwa betapapun sulitnya pilihan tersebut, dia tetap harus memilih. Akhirnya, dengan segala keteguhan yang dimilikinya, ditetapkanlah sebuah pilihan. Dan pilihan Sa’ad jatuh pada imannya. Sa’ad tetap teguh pada keimanannya dan tetap setia mengikuti dakwah Nabi saw. yang sudah mulai diselenggarakan di rumah Arqam bin Abil Arqam. Dengan berat hati, ditinggalkannya ibunya yang tetap tidak mau makan. Tampaknya, ibu dan anak ini tetap akan teguh pada pendirian masing-masing, sampai salah satu atau keduanya dipaksa menyerah oleh keadaan.
Sa’ad terus berangkat setiap hari menuju rumah Arqam bin Abil Arqam untuk mengikuti dakwah Nabi bersama sahabat-sahabat yang lain. Sementara itu ibu Sa’ad pun tetap dalam tekadnya. Dia terus melakukan aksi mogok makan sampai kondisi tubuhnya benar-benar lemah mengkhawatirkan. Ketika keadaannya sudah demikian gawat, beberapa orang dari keluarga Sa’ad mencarinya untuk diajak pulang. Mereka meminta Sa’ad untuk pulang guna menyaksikan ibunya untuk kali terakhir. Mereka mengatakan kepada Sa’ad bahwa mungkin ajal ibunya sudah dekat.
Karena hormat dan sayang kepada ibunya, Sa’ad pun mau memenuhi permintaan keluarganya itu. Setibanya di rumah, dada Sa’ad bergemuruh. Dia seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia hampir saja menangis menyaksikan perempuan yang sangat dicintainya itu tergolek lemah tak berdaya. Tubuhnya sangat kurus dan hanya dibalut kulit yang keriput. Sungguh sebuah pemandangan yang memilukan hati. Perempuan yang mengandung dan melahirkannya, kemudian dengan susah payah membesarkannya, terlihat sangat menderita sekali. Perlahan Sa’ad melangkahkan kaki menuju pembaringan ibunya. Tangannya bergetar. Air matanya seolah berebutan hendak keluar. Disentuhnya tangan ibunya, Dingin. Perlahan kelopak mata ibunya yang sudah keriput itu terbuka. Sorot mata yang tajam mengamati Sa’ad seolah ingin memastikan bahwa sosok di hadapannya itu adalah anaknya yang selalu dia rindukan kedatangannya.
“lbu kira engkau tidak mau pulang lagi, Nak.” kata ibu Sa’ad setelah berhasil meyakinkan dirinya bahwa pemuda yang duduk di dekatnya itu benar anaknya.
“Kata orang-orang engkau telah lupa dengan ibumu ini. Sihir Muhammad itu telah membuatmu lupa segalanya.” Kata ibu Sa’ad lirih. Tangannya meraih tangan Sa’ad dan mendekapkannya ke dadanya, seolah takut anaknya akan pergi lagi meninggalkannya.
“Sa’ad anakku, lihatlah ibumu ini. Kembalilah ke agama nenek moyang kita, Nak. lbu mohon. Tinggalkan si gila Muhammad itu, atau engkau akan menyaksikan ibumu ini menemui ajal. Demi Latta dan Uzza, ibu tidak akan makan sampai engkau meninggalkan agama baru yang menyesatkan itu!”
Batin Sa’ad berkecamuk mendengar ucapan ibunya itu. Sedih dan kacau. Terjadi perang antara keyakinannya terhadap lslam dan cintanya kepada ibu yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang itu. Akhirnya, Sa’ad menentukan akhir dari peperangan itu dan memperlihatkan keteguhan imannya. Dengan tegas dia berkata,
“Wahai ibunda tercinta, demi Allah, aku sangat mencintaimu. Namun cintaku kepada Allah dan Rasul-Nya telah mengalahkan cintaku kepada dunia dan seluruh isinya. Sungguh, seandainya engkau mempunyai seratus nyawa, lalu nyawa-nyawa itu keluar satu per satu, tidaklah aku akan meninggalkan agama ini. Bahkan andai seratus nyawa ibu ditambah satu nyawaku sendiri, aku tetap akan memegang teguh akidahku. Maka terserah ibu, mau makan atau tidak.”
Mendengar ucapan Sa’ad, sang ibu akhirnya menyerah dan mau makan kembali. Dia merasa sia-sia dengan usahanya, dan yakin jika usaha itu diteruskan akan gagal. Kekuatan dan keteguhan iman Sa’ad bin Abi Waqqash terbukti mampu mengalahkan egoisme seorang ibu yang tidak menghendaki anaknya menempuh jalan kebenaran. Sa’ad telah membuktikan keteguhan iman seorang mukmin sekaligus kecintaannya yang sangat besar kepada lslam. Sebuah kecintaan yang kadang memunculkan tindakan nekat yang berbahaya, seperti pernah terjadi pada masa-masa awal dakwah lslam. Saat itu, kehidupan kaum muslimin diliputi tekanan dan siksaan dari kaum kafir Quraisy. Salat pun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Cerita Sa’ad bin Abi Waqqash – Suatu ketika, sekelompok kaum Quraisy mengganggu Sa’ad yang sedang mengerjakan salat. Karena kesal dan tidak tahan, Sa’ad memukul salah seorang dari mereka dengan tulang unta hingga terluka. Darah yang mengalir dari luka kafir Quraisy itu menjadi darah pertama yang tumpah akibat konflik antara umat lslam dengan orang kafir; konflik yang kemudian semakin hebat dan menjadi batu ujian keimanan dan kesabaran kaum muslimin.
Setelah peristiwa itu, Rasulullah meminta para sahabat agar lebih tenang dan bersabar dalam menghadapi orang Quraisy. Rupanya, tindakan Sa’ad telah membawa hikmah berupa turunnya wahyu yang berisi arahan bagi kaum muslimin dalam menghadapi kaum kafir Quraisy.
“Dan bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik.” (Q.S. al-Muzzammil [73]: 10)
Ketetapan dari Allah bagi setiap mukmin untuk menahan diri dari gangguan kafir Quraisy berlangsung lama. Saat itu memang jumlah kaum muslimin masih sangat sedikit sehingga kekuatannya juga kecil’ Maka wajar jika Allah yang Maha Mengetahui menahan mereka dengan kesabaran demi kesabaran’ Jalan keluar yang diberikan oleh-Nya bukanlah perang, melainkan hijrah ke tempat yang lebih aman’ Maka berhijrahlah kaum muslimin, dua kali ke Habsyi dan akhirnya ke Madinah.
Di antara barisan muhajirin itu terdapat pemuda gagah berani yang kelak menjadi salah satu tulang punggung perjuangan kaum muslimin dalam menghadapi kaum kafir. Dialah Sa’ad bin Abi Waqqas. Setelah jumlah dan kekuatan kaum muslimin semakin besar Allah swt. memperkenankan mereka melakukan perlawanan fisik terhadap kaum kafir, Maka mulailah peperangan demi Peperangan meletus di antara kedua pihak ini, Perang pertama, perang Badar, menjadi “Perang akidah” karena keberadaannya sangat menentukan keberlangsungan dakwah lslam yang dibawa oleh Rasulullah saw. di Madinah. Pada peperangan ini, Sa’ad menjadi salah satu pejuang lslam terbaik dengan keahliannya yang amat terkenal: memanah.